Posted by : Guppy
Senin, 17 Maret 2014
Di Kwatisore, perairan Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Papua, tim Tempo (penulis Wahyuana Wardoyo dan fotografer Rully Kesuma) bertemu hiu paus dalam perjalanan pada Oktober lalu. Ini kesempatan yang jarang ditemukan di tempat lain. Juga, ada berbagai keunikan hiu paus di Kwatisore yang masih jadi pertanyaan.
Sejak 2012, Taman Nasional Teluk Cendrawasih bekerja sama dengan World Wide Fund Indonesia memasang penanda radio frequency identification (RFID tag) dan satelit (satellite tag). Dengan tag ini, peneliti dapat mengamati pola migrasi dan perilaku setiap hiu. “Berdasar hasil survei kami, total ada 70 hiu paus yang ditemukan di sekitar Kwatisore. Penelitian selanjutnya, 50 ekor telah dipasang penanda RFID sejak Juni 2012, 14 ekor dipasang penanda satelit sejak Mei 2011, dan delapan ekor lagi dipasangi penanda satelit pada April 2013,” ujar Beny Ahadian Noor, kepala proyek WWF-Indonesia untuk Teluk Cendrawasih.
Hasilnya? “Beberapa ekor diketahui bergerak hingga Donsol, Filipina. Selama dua minggu, mereka berenang pulang-pergi pada kedalaman sekitar 70 meter. Jarak Donsol-Kwatisore sekitar 2.500 kilometer. Jika mereka berenang pulang-pergi selama dua pekan, berarti sehari rata-rata mereka berenang sekitar 350 kilometer. Belum diketahui kenapa mereka bermain begitu jauh," dia menjelaskan.
Sementara ini, penelitian masih terus berlangsung dan masih perlu waktu untuk menemukan jawaban berbagai pertanyaan. Di antara pertanyaan itu adalah, kenapa hanya ditemukan dua betina di Kwatisore. Padahal, biasanya, jumlah betina dalam sekumpulan satwa liar cenderung lebih banyak dari jantan. Di berbagai tempat, betina juga tidak pernah mau muncul di permukaan, tetapi kenapa mereka muncul di Kwatisore? Kenapa yang datang ke sini hanya yang tanggung-tanggung, ke mana mereka yang dewasa? Apakah mereka ke Kwatisore hanya mencari makan, ataukah menetap? Di mana mereka kawin, dan bagaimana bentuk anaknya?
Sementara peneliti bekerja keras menyibak misteri hadirnya hiu paus di Kwatisore, sejak dua tahun lalu wisatawan semakin banyak mendatangi bagan-bagan Kwatisore untuk melihat hewan langka ini. “Sebagian besar wisatawan datang dengan kapal pesiar selam (diving liveboard),” ujar Casandra Tania, staf peneliti WWF-Indonesia yang fokus pada hiu paus.
Sejak 2012, Taman Nasional Teluk Cendrawasih bekerja sama dengan World Wide Fund Indonesia memasang penanda radio frequency identification (RFID tag) dan satelit (satellite tag). Dengan tag ini, peneliti dapat mengamati pola migrasi dan perilaku setiap hiu. “Berdasar hasil survei kami, total ada 70 hiu paus yang ditemukan di sekitar Kwatisore. Penelitian selanjutnya, 50 ekor telah dipasang penanda RFID sejak Juni 2012, 14 ekor dipasang penanda satelit sejak Mei 2011, dan delapan ekor lagi dipasangi penanda satelit pada April 2013,” ujar Beny Ahadian Noor, kepala proyek WWF-Indonesia untuk Teluk Cendrawasih.
Hasilnya? “Beberapa ekor diketahui bergerak hingga Donsol, Filipina. Selama dua minggu, mereka berenang pulang-pergi pada kedalaman sekitar 70 meter. Jarak Donsol-Kwatisore sekitar 2.500 kilometer. Jika mereka berenang pulang-pergi selama dua pekan, berarti sehari rata-rata mereka berenang sekitar 350 kilometer. Belum diketahui kenapa mereka bermain begitu jauh," dia menjelaskan.
Sementara ini, penelitian masih terus berlangsung dan masih perlu waktu untuk menemukan jawaban berbagai pertanyaan. Di antara pertanyaan itu adalah, kenapa hanya ditemukan dua betina di Kwatisore. Padahal, biasanya, jumlah betina dalam sekumpulan satwa liar cenderung lebih banyak dari jantan. Di berbagai tempat, betina juga tidak pernah mau muncul di permukaan, tetapi kenapa mereka muncul di Kwatisore? Kenapa yang datang ke sini hanya yang tanggung-tanggung, ke mana mereka yang dewasa? Apakah mereka ke Kwatisore hanya mencari makan, ataukah menetap? Di mana mereka kawin, dan bagaimana bentuk anaknya?
Sementara peneliti bekerja keras menyibak misteri hadirnya hiu paus di Kwatisore, sejak dua tahun lalu wisatawan semakin banyak mendatangi bagan-bagan Kwatisore untuk melihat hewan langka ini. “Sebagian besar wisatawan datang dengan kapal pesiar selam (diving liveboard),” ujar Casandra Tania, staf peneliti WWF-Indonesia yang fokus pada hiu paus.